1. Pengertian Masyarakat
Selain sebagai makhluk individu yang memiliki karakter khusus (unik) yang membedakan dengan individu yang lainnya, manusia juga merupakan makhluk sosial. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial memberikan pengertian bahwa citra kemanusiaan atau bahkan esensi kemanusiaan hanya dapat terbentuk mana kala manusia melakukan serangkaian interaksi dengan yang lainnya. Manusia tidak dapat hidup hanya dengan dirinya sendiri. Agar dapat mengembangkan dirinya sebagai manusia, seseorang memerlukan kehadiran orang lain. Dengan berhubungan dengan orang lain manusia juga dapat memenuhi segala macam kebutuhan, baik yang bersifat ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, dan lain sebagainya.
Sebagai konsekuensi logis dari kebutuhan terhadap orang lain tersebut manusia membentuk kelompok-kelompok yang mana masing-masing anggota dalam kelompok tersebut terlibat hubungan saling ketergantungan secara terus menerus. Kelompok-kelompok manusia itulah yang merupakan benih bagi munculnya kehidupan bermasyarakat. Terdapat perbedaan dinamika yang ditunjukkan oleh masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Akibat dari perbedaan dinamika tersebut telah menempatkan masyarakat tradisional pada satu satu sisi dan masyarakat modern pada sisi yang lain. Istilah masyarakat diambil dari bahasa Arab, yakni syiek yang berarti bergaul. Istilah masyarakat dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata socius yang berarti kawan. Kedua istilah tersebut, yakni pergaulan dan perkawanan, sama-sama memerlukan keberadaan orang lain demi terjalinnya hubungan komunikasi. Beberapa pakar ilmu sosial telah memberikan definisi tentang masyarakat, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Linto, seorang ahli antropologi, mengemukakan bahwa masyarakat merupakan setiap
kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu
dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan
sosial dengan batas-batas tertentu.
b. M.J. Herskovits menjelaskan bahwa masyarakat merupakan kelompok individu yang diorganisasikan yang mengikuti suatu cara hidup tertentu.
c. J.L. Gillin dan J.P. Gillin mengatakan bahwa masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang sama.
d. S.R. Steinmetz, seorang ahli sosiologi asal Belanda, mengatakan bahwa masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang terbesar yang meliputi pengelompokan - pengelompokan manusia yang lebih kecil yang mempunyai hubungan erat dan teratur.
e. MacIver memberikan pandangannya tentang masyarakat sebagai suatu sistem dari cara kerja dan prosedur dari otoritas yang saling bantu membantu yang meliputi kelompok - kelompok dan pembagian-pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang tinggal bersama pada suatu wilayah dalam waktu yang relatif lama dan bersifat terus menerus yang di dalamnya terdapat pengaturan terhadap sikap, perilaku, dan kepentingan-kepentingan, baik yang bersifat perseorangan maupun yang bersifat kelompok untuk kepentingan hidup bersama. Dengan demikian di dalam suatu masyarakat setidaknya terdapat empat unsur sebagai berikut:
a. Struktur sosial, yakni pengelompokan-pengelompokan di dalam suatu masyarakat, baik dalam hal jenis kelamin, kelompok umur, kekerabatan, lokalitas, pekerjaan, kedudukan, dan sebagainya dengan maksud untuk mempermudah dalam berperilaku sebagai suatu kesatuan.
b. Kontrol sosial, yakni suatu sistem atau suatu prosedur yang mengatur perilaku masing - masing anggota dalam suatu masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kontrol sosial tersebut suatu masyarakat menciptakan sistem nilai dan sistem norma yang akan menjadi pegangan bagi seluruh anggota masyarakat dalam berperilaku sosial.
c. Media komunikasi, yakni media yang mendukung proses interaksi antar anggota dalam suatu masyarakat. Media komunikasi tersebut dapat berupa bahasa maupun benda - benda lain seperti alat-alat komunikasi dan alat-alat transportasi.
d. Sistem nilai dan sistem norma yang menjadi standar dan patokan bagi seluruh anggota suatu masyarakat dalam berperilaku sosial.
2. Masyarakat Tradisional
Istilah tradisional berasal dari kata tradisi atau traditum yang berarti sesuatu yang diteruskan dari masa lalu menuju masa sekarang. Sesuatu yang diteruskan tersebut dapat berupa benda-benda, pola perilaku, sistem nilai dan sistem norma, harapan dan cita - cita yang ada dalam suatu masyarakat. Tradisi tersebut terbentuk melalui pikiran, imajinasi, dan tindakan-tindakan dari seluruh anggota masyarakat yang kemudian diwariskan secara turun temurun. Adapun wujud sesuatu yang diteruskan (tradisi) tersebut adalah objek - objek kebendaan, sistem kepercayaan, kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat, dan lain sebagainya.
Makna lain dari istilah tradisi adalah segala sesuatu yang berfungsi menjaga atau memelihara. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkembang pada generasi terdahulu akan dijaga dan dipelihara oleh generasi sekarang dan bahkan mungkin juga oleh generasi yang akan datang. Suatu tradisi dapat mengalami perubahan mana kala generasi penerus melakukan pembaharuan terhadap tradisi yang diwariskan oleh generasi pendahulunya. Pada umumnya perubahan tersebut hanya menyentuh pada unsur-unsur luarnya saja, sedangkan unsur-unsur pokoknya tetap tidak mengalami perubahan.
Masyarakat tradisional merupakan suatu masyarakat yang memelihara, menjaga, dan mempertahankan tradisi, adat istiadat, sistem nilai, sistem norma, dan bahkan sistem kebudayaan yang diwariskan oleh generasi pendahulunya.
Ditinjau dari letak pemukimannya, masyarakat tradisional pada umumnya terdapat di pedesaan. Oleh karena itu, masyarakat tradisional sering diidentikkan dengan masyarakat pedesaan. Namun demikian, sesungguhnya terdapat perbedaan yang mendasar antara masyarakat tradisional dengan masyarakat pedesaan. Masyarakat tradisional cenderung merupakan masyarakat yang bersahaja, yakni yang relatif terhindar dari pengaruh modernisasi. Sedangkan masyarakat pedesaan, sebagaimana yang diuraikan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, adalah suatu masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah tertentu, memiliki suatu kesatuan hukum dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri.
Uraian di atas mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa masyarakat tradisional pada umumnya terdapat pada masyarakat pedesaan, meskipun tidak semua masyarakat pedesaan merupakan masyarakat tradisional. Dengan demikian masyarakat tradisional telah diidentikkan dengan masyarakat pedesaan. Memang antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat tradisional terdapat beberapa kesamaan. Itulah sebabnya Talcott Parsons berani menggambarkan masyarakat pedesaan sebagai masyarakat tradisional karena memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
1. Adanya ikatan-ikatan perasaan yang erat dalam bentuk kasih sayang, kesetiaan, dan kemesraan dalam melakukan interaksi sosial yang diwujudkan dalam bentuk saling tolong menolong tanpa pamrih-pamrih tertentu.
2. Adanya orientasi yang bersifat kebersamaan (kolektifitas) sehingga jarang terdapat perbedaan pendapat.
3. Adanya partikularisme, yakni berhubungan dengan perasaan subjektif dan perasaan kebersamaan. Dengan demikian, dalam masyarakat pedesaan terdapat ukuran-ukuran (standar) nilai yang bersifat subjektif yang didasarkan pada sikap senang atau tidak senang, baik atau tidak baik, pantas atau tidak pantas, diterima atau tidak diterima, dan lain sebagainya.
4. Adanya askripsi yang berhubungan dengan suatu sifat khusus yang diperoleh secara tidak sengaja, melainkan diperoleh berdasarkan kebiasaan atau bahkan karena suatu keharusan. Itulah sebabnya masyarakat pedesaan sulit berubah, cenderung bersifat tradisional dan konservatif yang disebabkan oleh adanya sikap menerima segala sesuatu sebagaimana apa adanya.
5. Adanya ketidakjelasan (diffuseness) terutama dalam hal hubungan antarpribadi sehingga masyarakat pedesaan sering menggunakan bahasa secara tidak langsung dalam menyampaikan suatu maksud.
Beberapa karakteristik masyarakat pedesaan di atas banyak ditemui dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang masih murni. Seperti yang tampak dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang terdapat di Jawa yang memiliki beberapa ciri, antara lain sebagai berikut:
(1) adanya persamaan dalam derajat (egaliter) karena stratifikasi sosial yang ada hanya sebatas pada kepemilikan tanah belaka,
(2) adanya tempat-tempat yang dikeramatkan (punden) yang kemudian dijadikan sebagai pusat desa,
(3) adanya etos komunal yang ditunjukkan dalam tradisi saling tolong menolong,
(4) pengurusan tanah desa dilakukan oleh lurah dan pamong desa lainnya, dan
(5) tidak adanya hak keraton terhadap tanah desa karena hak keraton diwujudkan dalam bentuk hasil bumi dan pengerahan tenaga kerja dari desa yang dimaksud.
Mata pencaharian utama masyarakat pedesaan adalah pertanian. Meskipun terdapat beberapa pekerjaan lain seperti tukang batu, tukang kayu, tukang genteng, tukang gula, tukang arang, dan sebagainya, namun pekerjaan-pekerjaan tersebut sifatnya hanya sambilan saja, pada saat masa tanam atau masa panen tiba, segala macam pekerjaan tersebut akan ditinggalkan begitu saja. Kenyataan seperti ini semakin menunjukkan adanya homogenitas dalam masyarakat pedesaan.
3. Masyarakat Modern
Untuk memahami istilah modern perlu mengikuti perkembangan historis yang terjadi di Eropa sejak abad pertengahan yang merupakan zaman kegelapan (dark age), untuk kemudian disusul dengan munculnya zaman kebangkitan kembali (renaissance), abad pencerahan (aufklarung), hingga abad modern sekarang ini. Paham dan pandang tentang modern yang berkembang di Eropa pada dasarnya diawali pemutusan hubungan dengan kekuasaan Gereja pada abad pertengahan. Seperti yang diketahui, bahwa pada abad pertengahan tersebut masyarakat Eropa beranggapan bahwa dunia merupakan bagian dari kerajaan Tuhan. Dengan demikian segala sesuatu yang dipandang benar dan menjadi keputusan Gereja harus diterima sebagai kebenaran mutlak.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Gereja di Eropa pada abad pertengahan bertentangan dengan prinsip prinsip rasionalitas. Itulah sebabnya muncul gerakan intelektual yang menghendaki adanya kebebasan dalam berpikir, berkesenian, dan sekaligus beragama. Gerakan intelektual tersebut telah memunculkan paham rasionalisme yang merupakan tonggak dari kehidupan modern di Eropa.
Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropologi, Harsojo mendefinisikan istilah modern sebagai suatu sikap pikiran yang mempunyai kecenderungan untuk mendahulukan sesuatu yang baru dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat tradisi. Dampak dari pandangan modern tersebut adalah adanya sikap yang revolusioner karena munculnya keinginan untuk meninggalkan dan sekaligus mengganti adat istiadat dan tradisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai rasionalitas dan menggantinya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Uraian di atas mengantarkan pada pengertian bahwa masyarakat modern merupakan suatu masyarakat yang lebih mengutamakan rasionalitas dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai perwujudannya dari pada segala sesuatu yang bersifat tradisi, adat istiadat, dan lain sebagainya. Adapun beberapa ciri dari masyarakat modern antara lain disebutkan oleh Selo Soemardjan sebagai berikut:
1. Hubungan yang terjadi antarmanusia lebih didasarkan atas kepentingan-kepentingan
pribadi.
2. Hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain dilakukan secara terbuka dalam sua-
sana saling pengaruh mempengaruhi, kecuali terhadap beberapa penemuan baru yang
bersifat rahasia.
3. Adanya kepercayaan yang kuat terhadap manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi se-
bagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
4. Masyarakat terbagi-bagi menurut profesi dan keahlian masing-masing yang dipelajari
dan ditingkatkan dalam lembaga-lembaga pendidikan, keterampilan, dan kejuruan.
5. Adanya tingkat pendidikan formal yang relatif tinggi dan merata.
6. Hukum yang diberlakukan merupakan hukum tertulis yang sangat kompleks.
7. Sistem ekonomi yang dikembangkan merupakan sistem ekonomi pasar yang didasar-
kan atas penggunaan uang dan alat-alat pembaharuan yang lain.
Untuk menciptakan masyarakat modern dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan di atas, terlebih dahulu harus dibentuk manusia-manusia yang berjiwa modern. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan melakukan penelitian (research). Adapun ciri-ciri manusia modern ditunjukkan oleh sosiolog Soerjono Soekanto, sebagai berikut:
1.Bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru maupun penemuan - penemuan baru sehingga tidak mengembangkan sikap apriori (purbasangka).
2.Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai adanya beberapa kekurangan
yang dihadapi pada saat itu.
3.Memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya, sekaligus mempunyai kesadaran bahwa masalah-masalah tersebut memiliki hubungan dengan keberadaan dirinya.
4.Senantiasa memiliki informasi yang lengkap berkenaan dengan pendiriannya.
5.Berorientasi pada masa kini dan pada masa yang akan datang.
6.Memiliki kesadaran akan potensi-potensi yang ada pada dirinya dan sekaligus memiliki keyakinan bahwa potensi tersebut dapat dikembangkan dengan baik.
7.Memiliki kepekaan terhadap perencanaan.
8. Tidak mudah menyerah kepada nasib.
9. Percaya terhadap manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya peningkatan kesejahteraan umat manusia.
10. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, serta kehormatan pihak lain.
Tidak semua aspek tradisional merupakan suatu hal yang buruk. Dengan kata lain, terdapat beberapa aspek tradisional yang mendukung terbentuknya manusia modern. Sifat keterbukaan yang dimiliki oleh manusia modern termasuk di dalamnya terhadap nilai-nilai tradisional, dalam arti, jika nilai-nilai tradisional dipandang rasional dan selaras dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka nilai tradisional tersebut akan diterima sebagai suatu hal yang positif bagi kehidupan masyarakat.
Karena ilmu pengetahuan dan teknologi lebih banyak berkembang di perkotaan, maka masyarakat modern sering diidentikkan dengan masyarakat perkotaan. Terdapat beberapa ciri yang menonjol yang ditunjukkan oleh masyarakat kota, sebagaimana yang dijabarkan oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul Sosiologi: Suatu Pengantar sebagai berikut:
(1) pada umumnya bersifat individual, yakni mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung dengan orang lain,
(2) adanya pembagian kerja yang jelas sesuai dengan bidang dan profesinya masing-masing,
(3) terbukanya kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan sehubungan dengan adanya sistem pembagian kerja yang jelas,
(4) penggunaan pola pikir yang secara umum bersifat rasional sehingga interaksi yang terjadi lebih didasarkan atas faktor kepentingan tertentu,
(5) pentingnya faktor waktu sehubungan dengan adanya pembagian kerja dan jadwal kerja yang padat, dan
(6) adanya perubahan-perubahan sosial yang tampak dengan jelas sehubungan dengan keterbukaannya dalam menerima pengaruh budaya asing.
(R.G)