Minggu, 26 April 2020

Durna menjadi guru Kurawa


Dikisahkan sebelumnya Durna telah mengangkat Pandawa menjadi murid.

Sementara itu, sesampainya di keraton Hastinapura, Patih Sengkuni melaporkan kepada raja, bahwa lenga tala gagal direbut. Sekarang dibawa pergi oleh seorang pandhita sakti. Bahkan ia telah mengangkat murid Pandhawa dan membawa serta mereka ke padepokannya.

Duryudana dan para Kurawa merengek-rengek memohon kepada raja agar Pandhita sakti tersebut diangkat menjadi Guru Istana.

“Ampun Kakanda Prabu, perlu menjadi pertimbangan, ia mau menjadi guru para Kurawa asalkan Pandawa lima diperkenankan masuk istana, pada hal beberapa waktu yang lalu Kanda Prabu telah mengusir mereka.”

“Jika demikian biarlah anak-anakku yang datang berguru ke padanya”

“Ampun Kakanda Prabu, langkah tersebut akan merosotkan kewibawaan paduka raja,”

“Lantas bagaimana pendapatmu Patih Sengkuni?”

“Kanda Prabu, sebelumnya aku ingin mencari padepokannya untuk kemudian memaksa dia datang di istana tanpa Pandawa Lima”

Mendengar rencana Patih Sengkuni, Duryudana yang menyaksikan sendiri kesaktiannya padhita tersebut bertanya, lalu siapa yang mampu memaksanya?

Sengkuni sempat gelagepan, namun ia kemudian berkata, “Aku akan memerintahkan satu bregada prajurit untuk mengepung dan kemudian menangkapnya.

“Sengkuni! Apakah untuk mendapatkan seorang guru tidak boleh dengan cara paksa. Jika terjadi korban nyawa apakah engkau mau bertanggungjawab?

“Maksud saya tidak begitu Maha Resi Bisma. Apa yang akan kami lakukan ini semata-mata merupakan tanda bakti kepada raja. Karena jika nantinya para putra raja mendapatkan guru yang sakti, dan menyerap ilmunya, mereka akan mampu menjaga, memperkuat dan memperluas kerajaan Hastinapura”

“Sengkuni, Sengkuni, apakah engkau tidak pernah melihat guru sakti di Hastinapura ini? Coba kamu jawab dengan jujur, tidak adakah Guru Sakti di Hastinapura? Sengkuni!”

“Ada, ada Maha Resi, bahkan tidak sekedar ada, tetapi banyak. Jumlahnya kira-kira ratusan, ee mungkin bisa mencapai ribuan. Sedangkan yang diangkat menjadi guru istana saja sudah seratus lebih. Padahal gaji mereka…” “Cukup!! Sekarang jawab pertanyaanku, apakah para Kurawa telah menyerap semua ilmu dari mereka, terutama para guru yang digaji istana?” Eee sudah, eh belum dhing. Maksud saya semua ilmu telah diajarkan dan dipahami, tetapi belum semua di kuasai.” “Bagus, lalu apa usahamu agar para Kurawa mampu menyerap ilmu para guru istana dengan baik? “

Ampun Maha Resi Bisma, jika bibir ini menjadi panjang, salah satunya karena setiap waktu aku selalu mengatakan kepada keponakanku para kurawa, belajarlah yang tekun dan rajin. Tetapi memang mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi tidak cukup dengan rajin dan tekun, tetapi membutuhkan bakat dan kemampuan” “Jadi menurutmu cucu-cucuku para Kurawa itu rajin dan tekun?” Iya, eee kadang-kadang rajin, dan kadang-kadang tekun. Eee rajin kok, tetapi” “Sengkuni, engkau akan mengatakan bahwa para Kurawa itu tekun dan rajin tetapi tidak berbakat dan tidak mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi?” “Tidak demikian Sang Maha Resi, para Kurawa itu mempunyai bakat dan kemampuan, tetapi belum ada guru yang mampu menggali bakat dan kemampuannya”

“Sengkuni! Engkau jangan menyalahkan para guru istana! Engkau menganggap aku buta? Tidak dapat melihat kenyataan yang sebenarnya? Bukankah para Kurawa tidak dengan sungguh-sungguh menyerap ilmu dari para guru istana? Dan itu sesungguhnya menjadi tanggunggjawabmu untuk memotivasi mereka.”

“Ampun Maha Resi, hamba ini seorang Patih, tugas hamba mengabdi kepada negara dan raja. Bukan sebagai pengasuh anak-anak raja.” “Baik! Jika demikian jangan ikut campur dalam hal mencari guru untuk para Kurawa. Anak Prabu Destarastra, ijinkanlah aku sendiri yang akan menemui guru sakti yang diinginkan anak-anakmu. Pertimbanganku agar para Kurawa dan para Pandawa menyerap ilmu dari guru yang sama, dengan aturan dan disiplin yang sama serta sumpah ketaatan yang sama pula. Sehingga dengan demikian ada harapan untuk mempersatukan diantara mereka.”

Destarastra setuju usul Resi Bisma, karena sesungguhnya ada harapan yang sama, agar diantara anak-anaknya dan anak-anak Pandudewanata hidup berdampingan dengan rukun. Tetapi entah apa sebabnya benih-benih permusuhan telah tumbuh lebih cepat dari pada benih-benih kerukunan.
Dengan pertimbangan bahwa Yamawidura mengetahui letak padepokan, tempat Pandhita Sakti berada, maka Destarastra memerintahkan kepada Yamawidura untuk mengiring Resi Bisma. Menurut keterangan Sadewa, sewaktu mohon restu kepada Ibunda Dewi Kunthi ke Panggombakan, ia beserta keempat saudaranya selama beberapa waktu tinggal di Padepokan Sokalima yang terletak di tapal batas wilayah Negara Pancalaradya, untuk berguru kepada Padhita Durna.

Pada hari yang telah disepakati, sebelum matahari terbit, Resi Bisma diiringi Yamawidura keluar dari Kestalan Keraton Hastinapura, menuju arah tenggara. Derap dari delapan kaki kuda yang mereka tumpangi, meninggalkan debu yang terbang terbawa angin dan menempel pada lekuk-lekuk bangunan Keraton Hastinapura yang indah.

Di tengah terik matahari, Resi Bisma dan Yamawidura sengaja tidak berhenti, agar segera sampai di Padepokan Sokalima, tempat Pandhita Durna menggembleng cantrik-cantriknya, termasuk Pandhawa Lima. Jika pun harus istirahat, sekedar untuk memberi makan minum kuda-kuda mereka.





Dilihat pada garis-garis wajahnya, Resi Bisma sudah tidak muda lagi, bahkan dapat dikatakan lanjut usia, namun badannya masih tegap dan jiwanya masih tegar, jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Sorot matanya tajam bagai rajawali. Segudang ilmu sakti yang ia pelajari sejak masa kanak-kanak, masih melekat kuat di badan dan jiwanya. Waktu muda ia mendapat tiga anugerah besar yaitu; umur panjang sampai tujuh turunan, tidak pernah kalah dalam berperang dan tidak dapat mati jika tidak atas permintaan sendiri. Ia menjadi putera mahkota kerajaan Hastinapura pada masa pemerintahan ayahnya, Prabu Sentanu. Namun karena Dewi Setyawati, ibu sambungnya menginginkan tahta demi anaknya, maka ia mengalah, dengan ikhlas tahta diserahkan kepada anak Setyawati. Bahkan ia berjanji untuk menjalani hidup ‘wadat’ tidak menikah, agar tidak mempunyai keturunan yang akan mengusik tahta Hastinapura, dan menimbulkan pertumpahan darah diantara saudara.

Dengan kebesaran hati, Resi Bisma telah melepaskan tahtanya dan menjalani hidup wadat. Walaupun ada godaan besar dari seorang wanita bernama Dewi Amba, Bisma tetap setia dengan janjinya untuk tidak menurunkan anak dari seorang wanita. Namun saat ini ia sangat kecewa, bukan karena ia telah merelakan tahtanya dan menjalani laku hidup wadat, tetapi lebih dikarenakan pergolakan tahta Hastinapura tidak terhindarkan karenanya. “Apakah keputusanku untuk melepaskan tahta salah? Jikakalau benar, mengapa Citragada dan Wicitrawirya anak Setyawati, belum genap hitungan tahun menduduki tahta, meninggal secara berurutan? Menurut anggapan rakyat Hastinapura, Citragada dan Wicitrawirya tidak kuat menduduki tahta, mereka kuwalat kepada pendiri Keraton dan Rakyat Hastinapura. Karena secara tidak langsung telah merebut tahta yang bukan haknya dari tanganku. Rupanya Ibunda Setyawati mempercayainya anggapan rakyat. Ia sangat menyesalkan telah mengajukan anak-anaknya untuk menduduki tahta.

Pada suatu malam, Ibunda Ratu menemuiku, dan meyapaku. Ia selalu memanggilku dengan nama kecilku, Dewa Brata. Ketika nama itu disebut, aku diingatkan kepada ibuku Dewi Ganggawati, seorang bidadari yang memberikan nama itu. Aku rindu padanya, ingin dipeluk, dicium, dibelai dengan penuh cinta. Namun itu tak pernah aku rasakan. Sejak bayi, Ibunda telah meninggalkan aku dan ramanda Prabu Sentanu kembali ke kahyangan.

“Dewa Brata, aku telah melakukan kesalahan besar kepadamu dan rakyat Hastinapura. Semenjak kedua adik tirimu meninggal berurutan, tahta Hastinapura kosong. Aku sadar, tragedi ini merupakan peringatan ‘Hyang Akarya Jagad’ bahwa sesungguhnya hanya engkaulah yang berhak atas tahta Hastinapura.”

“Bukan Ibunda yang bersalah, melainkan aku. Karena dengan memberikan tahta kepada keturunan Ibunda Dewi Setyawati, aku telah mengkhianati leluhurku, pendiri Keraton Hastinapura ini. Seakan-akan tahta Hastinapura adalah milikku, dapat aku gunakan sesukaku, boleh aku diberikan sesuai keinginanku. Demikian pula kedudukan putera mahkota yang kutanggalkan tanpa persetujuan rakyat, artinya aku telah menyelewengkan kepercayaan rakyat Hastinapura.”

“Dewa Brata inilah saat yang tepat untuk menebus kesalahan kita”

“Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan.”

“Jika engkau mau melakukan, kesalahku tertebus pula”

“Katakan Ibunda, katakanlah”

“Duduklah di tahta Hastinapura”

Malam itu terang benderang, tidak turun hujan. Bulan penuh menggantung di langit, kidung malam mengalun merdu. Namun kata-kata Ibunda Ratu laksana halilintar menggelegar di dada Dewa Brata. Sesungguhnya yang dikatakan Ibunda Ratu, sama dengan bisikan nuraninya bahkan sama pula dengan nurani rakyat, yang beranggapan bahwa satu-satunya orang yang berhak, pantas dan kuat menduduki tahta adalah Dewa Brata. Namun kesadarannya menolak untuk menjadi raja.

Aku mengalami goncangan yang amat hebat, jika aku tidak bersedia menjadi raja, artinya aku telah mengingkari tradisi pendiri kraton Hastinapura, dan menolak mandat yang diberikan rakyat. Namun sebaliknya jika aku bersedia menjadi raja, aku telah mengkianati janjiku dan menghina para Dewa yang telah memberikan tiga anugerah karena kerelaanku menyerahkan tahta dan hidup wadat.

Resi Bisma menghentikan permenungan masa lalunya, ia dan Yamawidura sampai di gapura masuk padepokan Sokalima. Sang Resi Bisma banyak berharap kepada guru besar Soka Lima, untuk membantu mengurangi beban perasaan bersalah, dengan mempersatukan Pandhawa dan Kurawa, sehingga mampu meredam sengketa dan pertumpahan.

Dua orang cantrik menyambut dengan penuh hormat, sopan dan ramah, walaupun mereka tidak tahu bahwa tamunya adalah dua orang besar dari negara yang besar pula.

Bisma dan Yamawidura turun dari kudanya, segera dua orang cantrik menghampirinya untuk menambatkan kuda-kuda mereka. Begitu pula dengan dua cantrik lain mengiring Bisma dan Yamawidura menuju ke bangunan induk padepokan. Sepanjang jalan, aneka bunga warna-warni menjulur tangkainya, merunduk di pinggir jalan, bagaikan pagar-ayu, menyambut datangnya kedua tamu agung. Di bibir tangga bangunan induk, Pandita Durna, beserta Puntadewa, Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa tergopoh-gopoh menyongsong mereka.

“Selamat datang di padepokan Sokalima, Sang Resi Agung Hastinapura. Sudah tiga hari ini, sepasang burung prenjak berkicau bersautan persis di depan rumah induk. Itu pertanda bahwa padepokan akan kedatangan tamu Resi Agung.”

“Pandhita Durna jangan berlebihan, aku manusia biasa seperti engkau, bukan manusia agung.”

Durna mengangguk-angguk, walaupun sesungguhnya ia tahu bahwa Bisma adalah Resinya para Resi.

Setelah mereka dipersilakan duduk, Bisma mengawali pembicaraan.

“Pandhita Durna, tentunya engkau telah mengetahui banyak tentang aku dari cucu-cucuku Pandhawa. Namun aku ingin mengatakan bahwa hingga sat ini hidupku selalu dibayang-bayangi perasaan bersalah. Menyusul keputusanku yang pertama: ketika aku merelakan tahta kepada anak-anak Setyawati dengan Ramanda Prabu Sentanu yaitu Citragada dan Wicitrawirya, yang meninggal berurutan setelah menduduki tahta. Keputusan yang ke dua: mengangkat Abiyasa, anak Setyawati dengan Palasara trah Pertapa Saptaarga, bukan trah Hastinapura. Sejak Abiyasa menduduki tahta, Hastinpura selalu bermasalah. Terlebih lagi setelah kehadiran Kurawa dan Pandhawa perebutan tahta Hastinapura semakin meruncing.”

“Sang Resi Bisma, perjalanan hidupku rupanya juga tidak lebih baik.” Pandita Durna berkisah pula.

“Sampai saat ini perasaan bersalah seperti yang dirasakan Sang Resi juga menggelayut dalam hidupku. Ketika Ramanda Prabu Baratwaja menginginkan aku menjadi raja di Hargajembangan, aku menolak, dan memilih pergi ke Tanah Jawa, untuk berguru kepada Begawan Abiyasa. Tetapi tragedi telah menimpaku, badan dan wajahku cacat seumur hidup. Aku menggembara tak tentu arah di negeri orang, dengan membawa anak tanpa ibu.”

Mereka terdiam untuk sementara waktu, ingin saling memahami perjalanan hidup masing-masing.

“Pandita Durna, aku tahu engkau dalam penderitaan, namun engkaulah yang kurasa dapat membantu mencegah perang antara Kurawa dan Pandawa. Untuk itulah aku datang memohon engkau bersedia menjadi guru mereka. Karena dengan menjadikan mereka murid-muridmu, mereka akan menjadi saudara seperguruan, yang akan menumbuhkan perasaan senasib, seperjuangan. Bukankah hal tersebut akan memperkecil benih-benih permusuhan?”

“Pada awalnya aku lebih berminat mengangkat murid para Pandhawa. Namun setelah Sang Resi mengungkapkan tujuan mulia dibalik pengangkatan murid Para Kurawa, aku bersedia menjadi guru mereka.”

“Terimakasih Kumbayana. Tentunya dengan kesediaanmu, Prabu Destrarastra akan memberikan gelar guru istana.”

“Dhuh Sang Resi Bisma, ada yang lebih penting dari gelar itu, yaitu kebebasan mengajar setiap orang yang membutuhkan.”

Bisma dapat memahaminya, karena ia tahu persis darma seorang pandita atau resi, ialah memberikan ilmu kepada siapa saja, tidak pilih-pilih. Ibaratnya sebuah sumur yang selalu terbuka bagi yang menimba air darinya.

Sebelum kembali ke Istana Resi Bisma dan Yamawidura berpesan agar selain mengajarkan ilmu, ada hal mendasar yang wajib ditanamkan kepada Pandhawa dan Kurawa, yaitu agar diantara mereka dibangun rasa mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi maaf.

Membangun sikap moral tidak lebih mudah dibandingkan dengan mengajarakan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Oleh karenanya seorang guru diharuskan mempunyai otoritas penuh, teguh adil dan berwibawa. Dengan alasan tersebut, Bisma setuju bahwa tempat penggemblengan para murid, dilakukan di Sokalima.